PERHATIAN UNTUK ‘ADAPTASI’ KARYA SASTRA!
Oleh :
Diki Sumarna
Sejarah yang berada di Indonesia
tentulah sangat beragam keberadaannya, tentunya sejarah kesusastraan Indonesia,
mulai dari dongeng hingga legenda melengkapi kesejarahan sastra Indonesia.
Dahulu kala kita telah mengenal sejarah cerita rakyat, di antaranya Malin
Kundang, Danau Toba, Sangkuriang, Roro Jonggrang, Borobudur, dan lain-lain. Hal
itu menjadi saksi nyata dalam sejarah sastra Indonesia dan ikon bangsa
Indonesia di mata dunia Internasional.
Sebagai contoh cerita rakyat yang
berasal dari kisaran Jawa Tengah, yaitu Roro Jonggrang. Cerita rakyat ini
dijadikan sebuah drama oleh kelompok teater dan drama Universitas Pendidikan
Indonesia. Adapun yang menjadi ‘tukang’ sutradara adalah Atin Rustini. Beliau
menyutradarai pementasan drama Roro Jonggrang sekaligus menjadi pemeran Roro
Jonggrang. Pada dasarnya pertunjukan drama tersebut mengisahkan peperangan
batin putri pewaris tahta kerajaan Baqa bernama Roro Jonggrang. Putri tersebut
harus menerima kekalahan kerajaan Baqa seklaigus menerima kematian ayahnya di
tangan seorang raja. Raja tersebut bernama Bandung Bondowoso. Putri Roro
Jonggrang tak kuasa menolak pinangan Bandung Bondowoso. Karena, jika putri
tersebut melakukan penolakan maka seluruh rakyat dan kerajaan akan menjadi abu
dalam sekejap. Ia terpaksa menerima pinangan Bandung Bondowoso dengan syarat
agar dibuatkan seribu buah candi dalam satu malam. Bandung Bondowoso pun
menyetujui persyaratan dari Roro Jonggrang. Seluruh pasukan Bandung Bondowoso
dikerahkan untuk segera membuat seribu candi. Putri cantik tersebut menyiasati
raja yang berkuasa agar fajar segera tiba. Hal itu diketahui oleh Bandung
Bondowoso dan ia pun murka kepada Roro Jonggrang. Ia pun meluapkan kekesalannya
dengan ilmu kadigjayaannnya untuk mengutuk Roro Jonggrang. Namun dalam drama
ini, yang terkena kutukan itu adalah Bandung Bondowoso sendiri. Padahal, dalam
cerita aslinya yang terkena kutukan adalah Roro Jonggrang. Ada apakah dengan
alur drama ini?
Jika dilihat dari temanya, ada
beberapa ide, yaitu kesetiaan, keberanian, kecerdikan, dan pengorbanan. Dari
beberapa ide tersebut menjadi satu kesatuan gagasan dalam cerita. Maka dari
itu, penentuan ide/gagasan harus benar-benar diperhatikan dalam pembuatan
cerita. Kemudian berlanjut ke alur cerita yang digunakan adalah alur maju. Alur
atau plot terkadang mengecohkan para pembaca, dalam penentuan alur kita
semestinya teliti terhadap cerita yang disajikan. Cerita Roro Jonggrang
merupakan cerita yang mudah diserap dan dimengerti oleh setiap kalangan dengan
alur yang sederhana.
Setelah pemaparan sinopsis
diutarakan, ada hal yang berbeda dari cerita aslinya. Dalam dunia sastra ada
banyak hal untuk memaparkan ulang cerita/karya sastra dalam bentuk ‘adaptasi’.
Penulis naskah drama ini mungkin atau benar-benar membedakan cerita yang
didramatisasikan dengan cerita yang aslinya. Adaptasi karya sastra merupakan hal
yang mempertahankan sikap asli dari karya sastra aslinya. Tiada lain dengan
drama ini yang mengadaptasi cerita Roro Jonggrang. Atau mungkin hanya sekedar
improvisasi cerita saja? Tentunya tidak dijawab secara langsung, hal ini harus
bertalian langsung dengan penulis naskahnya.
Bertalian dengan improvisasi cerita
tersebut bahwa cerita Roro Jonggrang merupakan bentuk cerita yang mungkin saja
hanya mitos belaka. Jadi, tidak ada salahnya kalau cerita Roro Jonggrang ini
disajikan dalam bentuk yang berbeda dari bentuk aslinya agar dapat mengundang
kontroversi, begitu penjelasan penulis naskah memaparkannya. Sebenarnya dari
penjelasan penulis naskah drama tersebut telah jelas dan tak perlu adanya hal
yang dapat menjatuhkan satu sama lain. Memang dengan adanya adaptasi tersebut
dapat memunculkan sesuatu yang menarik bagi para penonton atau apresiator. Hal
itu merupakan suatu kelebihan dalam drama ini dan ada nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Drama ini cocok untuk kalangan peserta didik yang
dasar. Dengan sistem pengajaran yang dinamis dan tidak monoton akan
menghasilkan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi peserta didiknya.
Dalam pagelaran sastra yang
dilakukan oleh kelompok kelas 4 Dik C merupakan pagelaran sastra yang sudah
banyak dikenali oleh khalayak umum, yaitu tentang Lutung Kasarung. Cerita
Lutung Kasarung ini dikemas dalam bentuk drama. Pemerannya orisinalitas dari
kelas tersebut terkecuali ada penata musik, yaitu dari anggota seni musik.
Penataan panggungnya pun disesuaikan dengan tema yang disajikan agar
mendapatkan chemistry yang dapat
memengaruhi para pemain. Sehingga, pemain pun dapat menghayati perannya
masing-masing. Penataan musik pun tidak kalah pentingya dalam penyajian drama
ini, justru faktor pendorong berjalannya drama ini dengan baik. Apabila drama
tidak disertai dengan kkehadiran musik maka drama tersebut akan menjadi datar,
seperti halnya sayur asam tanpa garam.
Cerita Lutung Kasarung merupakan
cerita rakyat Pasundan/Pajajaran yang terdapat di daerah Jawa Barat. Cerita ini
pada awalnya ada seorang raja dari kerajaan Pasir Batang yang bernama Tapa
Agung. Beliau tengah dirundung dengan dilema yang menghantuinya, yaitu tentang
pewaris tahta selanjutnya di antara ke-7 putrinya. Pada suatu malam tengah
tertidur, Sang raja bermimpi dan mendapat petunjuk dari Sang Dewata bahwa
kerajaan harus diwariskan kepada putri bungsunya, yhaitu Purbasari. Akan
tetapi, dengan terpilihnya Purbasari menjadi kontroversi antara Purbasari
dengan Purbararang. Bahwa Purbararang merasa pantas untuk melanjutkan tahta
kerajaan ayahandanya itu. Hingga pada suatu ketika Purbararang membuat ulah
kepada Purbasari sehingga tubuhnya menjadi bentol-bentol dan dianggap sebagai
penyakit menular dan mendapat pengusiran oleh Purbararang. Purbasari pun
diasingkan ke hutan untuuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan oleh
Purbararang beserta adik-adiknya. Di sisi lain, ada seorang pemuda, yaitu Guru
Minda, putra dari Dewata Agung Sunan Ambu yang diusuir dari kahyangan akibat
mencintai ibunya sendiri. Bentuk kekesalan ibunya, Guru Minda dikutuk menjadi
seekor lutung dan ia pun diasingkan ke hutan belantara. Guru Minda diusir dari
kahyangan hanya untuk mencari wanita yang mau menikah dengannya agar dia bisa
kembali seperti semula. Setelah sekian lama di hutan, akhirnya Guru Minda bertemu dengan Purbasari. Pada awalnya
Purbasari sangat terkejut dan ketakutan melihat Guru Minda menjadi lutung.
Namun, setelah diberikan pengarahan bahwa dirinya adalah pangeran dari kerajaan
yang dikutuk dan diasingkan dari kahyangan maka Purbasari pun memercayainya.
Setelah sekian lama hidup di hutan, Purbasari dibawa lagi ke kahyangan tanpa
seekor lutung. Lutung pun merasa kesepian dengan kepergian putri cantik itu. Suatu
ketika Purbararang ingin selalu tetap awet muda, dibawalah lutung ke kerajaan,
dan dipercaya bahwa dengan bulu seekor lutung wajah Purbararang akan selalu
awet muda. Namun, setelah bulu ketiak diberikan dan dipakai oleh Purbararang,
tiba-tiba tubuhnya terasa gatal-gatal. Purbararang merasa ditipu oleh seekor
lutung. Lutung pun hendak dibunuh karena telah membohongi Purbararang. Akhirnya
Purbasari menolongnya dan akan menikahi lutung tersebut. Tiba-tiba seekor
lutung berubah menjadi lelaki yang sangat tampan dan gagah setelah hendak
menikah dengan Purbasari. Akhirnya lutung mengakui bahwa dirinya adlah seorang
pangeran kerajaan yang dikutuk menjadi seekor lutung. Mereka pun menikah dan
hidup bahagia.
Dalam sinopsis drama tersebut ada
beberapa hal yang dikatakan ‘menarik’. Mengapa dikatakan ‘menarik’? karena
didalam drama tersebut ada dua cerita yang digabungkan menjadi satu cerita dan
relevan. Memang adaptasi dan improvisasi tidak bisa dilepaskan di dalam karya
sastra, jika tidak ada adaptasi dan improvisasi maka pagelaran sastra tersebut
sepertinya akan datar. Tim penulis naskah mungkin ingin lebih istimewa dalam
menampilkan dramanya ke khalayak umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar