PAKAIAN MURAH

Kamis, 16 Mei 2013

Perhatian untuk 'Adaptasi' Karya Sastra!

PERHATIAN UNTUK ‘ADAPTASI’ KARYA SASTRA!
Oleh    : Diki Sumarna
            Sejarah yang berada di Indonesia tentulah sangat beragam keberadaannya, tentunya sejarah kesusastraan Indonesia, mulai dari dongeng hingga legenda melengkapi kesejarahan sastra Indonesia. Dahulu kala kita telah mengenal sejarah cerita rakyat, di antaranya Malin Kundang, Danau Toba, Sangkuriang, Roro Jonggrang, Borobudur, dan lain-lain. Hal itu menjadi saksi nyata dalam sejarah sastra Indonesia dan ikon bangsa Indonesia di mata dunia Internasional.
            Sebagai contoh cerita rakyat yang berasal dari kisaran Jawa Tengah, yaitu Roro Jonggrang. Cerita rakyat ini dijadikan sebuah drama oleh kelompok teater dan drama Universitas Pendidikan Indonesia. Adapun yang menjadi ‘tukang’ sutradara adalah Atin Rustini. Beliau menyutradarai pementasan drama Roro Jonggrang sekaligus menjadi pemeran Roro Jonggrang. Pada dasarnya pertunjukan drama tersebut mengisahkan peperangan batin putri pewaris tahta kerajaan Baqa bernama Roro Jonggrang. Putri tersebut harus menerima kekalahan kerajaan Baqa seklaigus menerima kematian ayahnya di tangan seorang raja. Raja tersebut bernama Bandung Bondowoso. Putri Roro Jonggrang tak kuasa menolak pinangan Bandung Bondowoso. Karena, jika putri tersebut melakukan penolakan maka seluruh rakyat dan kerajaan akan menjadi abu dalam sekejap. Ia terpaksa menerima pinangan Bandung Bondowoso dengan syarat agar dibuatkan seribu buah candi dalam satu malam. Bandung Bondowoso pun menyetujui persyaratan dari Roro Jonggrang. Seluruh pasukan Bandung Bondowoso dikerahkan untuk segera membuat seribu candi. Putri cantik tersebut menyiasati raja yang berkuasa agar fajar segera tiba. Hal itu diketahui oleh Bandung Bondowoso dan ia pun murka kepada Roro Jonggrang. Ia pun meluapkan kekesalannya dengan ilmu kadigjayaannnya untuk mengutuk Roro Jonggrang. Namun dalam drama ini, yang terkena kutukan itu adalah Bandung Bondowoso sendiri. Padahal, dalam cerita aslinya yang terkena kutukan adalah Roro Jonggrang. Ada apakah dengan alur drama ini?
            Jika dilihat dari temanya, ada beberapa ide, yaitu kesetiaan, keberanian, kecerdikan, dan pengorbanan. Dari beberapa ide tersebut menjadi satu kesatuan gagasan dalam cerita. Maka dari itu, penentuan ide/gagasan harus benar-benar diperhatikan dalam pembuatan cerita. Kemudian berlanjut ke alur cerita yang digunakan adalah alur maju. Alur atau plot terkadang mengecohkan para pembaca, dalam penentuan alur kita semestinya teliti terhadap cerita yang disajikan. Cerita Roro Jonggrang merupakan cerita yang mudah diserap dan dimengerti oleh setiap kalangan dengan alur yang sederhana.
            Setelah pemaparan sinopsis diutarakan, ada hal yang berbeda dari cerita aslinya. Dalam dunia sastra ada banyak hal untuk memaparkan ulang cerita/karya sastra dalam bentuk ‘adaptasi’. Penulis naskah drama ini mungkin atau benar-benar membedakan cerita yang didramatisasikan dengan cerita yang aslinya. Adaptasi karya sastra merupakan hal yang mempertahankan sikap asli dari karya sastra aslinya. Tiada lain dengan drama ini yang mengadaptasi cerita Roro Jonggrang. Atau mungkin hanya sekedar improvisasi cerita saja? Tentunya tidak dijawab secara langsung, hal ini harus bertalian langsung dengan penulis naskahnya.
            Bertalian dengan improvisasi cerita tersebut bahwa cerita Roro Jonggrang merupakan bentuk cerita yang mungkin saja hanya mitos belaka. Jadi, tidak ada salahnya kalau cerita Roro Jonggrang ini disajikan dalam bentuk yang berbeda dari bentuk aslinya agar dapat mengundang kontroversi, begitu penjelasan penulis naskah memaparkannya. Sebenarnya dari penjelasan penulis naskah drama tersebut telah jelas dan tak perlu adanya hal yang dapat menjatuhkan satu sama lain. Memang dengan adanya adaptasi tersebut dapat memunculkan sesuatu yang menarik bagi para penonton atau apresiator. Hal itu merupakan suatu kelebihan dalam drama ini dan ada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Drama ini cocok untuk kalangan peserta didik yang dasar. Dengan sistem pengajaran yang dinamis dan tidak monoton akan menghasilkan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi peserta didiknya.
            Dalam pagelaran sastra yang dilakukan oleh kelompok kelas 4 Dik C merupakan pagelaran sastra yang sudah banyak dikenali oleh khalayak umum, yaitu tentang Lutung Kasarung. Cerita Lutung Kasarung ini dikemas dalam bentuk drama. Pemerannya orisinalitas dari kelas tersebut terkecuali ada penata musik, yaitu dari anggota seni musik. Penataan panggungnya pun disesuaikan dengan tema yang disajikan agar mendapatkan chemistry yang dapat memengaruhi para pemain. Sehingga, pemain pun dapat menghayati perannya masing-masing. Penataan musik pun tidak kalah pentingya dalam penyajian drama ini, justru faktor pendorong berjalannya drama ini dengan baik. Apabila drama tidak disertai dengan kkehadiran musik maka drama tersebut akan menjadi datar, seperti halnya sayur asam tanpa garam.
            Cerita Lutung Kasarung merupakan cerita rakyat Pasundan/Pajajaran yang terdapat di daerah Jawa Barat. Cerita ini pada awalnya ada seorang raja dari kerajaan Pasir Batang yang bernama Tapa Agung. Beliau tengah dirundung dengan dilema yang menghantuinya, yaitu tentang pewaris tahta selanjutnya di antara ke-7 putrinya. Pada suatu malam tengah tertidur, Sang raja bermimpi dan mendapat petunjuk dari Sang Dewata bahwa kerajaan harus diwariskan kepada putri bungsunya, yhaitu Purbasari. Akan tetapi, dengan terpilihnya Purbasari menjadi kontroversi antara Purbasari dengan Purbararang. Bahwa Purbararang merasa pantas untuk melanjutkan tahta kerajaan ayahandanya itu. Hingga pada suatu ketika Purbararang membuat ulah kepada Purbasari sehingga tubuhnya menjadi bentol-bentol dan dianggap sebagai penyakit menular dan mendapat pengusiran oleh Purbararang. Purbasari pun diasingkan ke hutan untuuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan oleh Purbararang beserta adik-adiknya. Di sisi lain, ada seorang pemuda, yaitu Guru Minda, putra dari Dewata Agung Sunan Ambu yang diusuir dari kahyangan akibat mencintai ibunya sendiri. Bentuk kekesalan ibunya, Guru Minda dikutuk menjadi seekor lutung dan ia pun diasingkan ke hutan belantara. Guru Minda diusir dari kahyangan hanya untuk mencari wanita yang mau menikah dengannya agar dia bisa kembali seperti semula. Setelah sekian lama di hutan, akhirnya Guru Minda  bertemu dengan Purbasari. Pada awalnya Purbasari sangat terkejut dan ketakutan melihat Guru Minda menjadi lutung. Namun, setelah diberikan pengarahan bahwa dirinya adalah pangeran dari kerajaan yang dikutuk dan diasingkan dari kahyangan maka Purbasari pun memercayainya. Setelah sekian lama hidup di hutan, Purbasari dibawa lagi ke kahyangan tanpa seekor lutung. Lutung pun merasa kesepian dengan kepergian putri cantik itu. Suatu ketika Purbararang ingin selalu tetap awet muda, dibawalah lutung ke kerajaan, dan dipercaya bahwa dengan bulu seekor lutung wajah Purbararang akan selalu awet muda. Namun, setelah bulu ketiak diberikan dan dipakai oleh Purbararang, tiba-tiba tubuhnya terasa gatal-gatal. Purbararang merasa ditipu oleh seekor lutung. Lutung pun hendak dibunuh karena telah membohongi Purbararang. Akhirnya Purbasari menolongnya dan akan menikahi lutung tersebut. Tiba-tiba seekor lutung berubah menjadi lelaki yang sangat tampan dan gagah setelah hendak menikah dengan Purbasari. Akhirnya lutung mengakui bahwa dirinya adlah seorang pangeran kerajaan yang dikutuk menjadi seekor lutung. Mereka pun menikah dan hidup bahagia.
            Dalam sinopsis drama tersebut ada beberapa hal yang dikatakan ‘menarik’. Mengapa dikatakan ‘menarik’? karena didalam drama tersebut ada dua cerita yang digabungkan menjadi satu cerita dan relevan. Memang adaptasi dan improvisasi tidak bisa dilepaskan di dalam karya sastra, jika tidak ada adaptasi dan improvisasi maka pagelaran sastra tersebut sepertinya akan datar. Tim penulis naskah mungkin ingin lebih istimewa dalam menampilkan dramanya ke khalayak umum.
     
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar